Secara
historis, Bengkulu yang dipandang dari sudut geografis termasuk wilayah
periferal, ternyata menjadi daerah sasaran para migran. Salah satunya
diantaranya ialah migran Bugis. Menurut beberapa sumber sejarah, migrasi orang
Bugis ke Bengkulu sudah dimulai sejak abad ke 17 (P. Wink: 1924; Winter: 1870;
St. Kdeir:1870; O.L. Helfrich:1923; Tambo Bangkahoeloe: 1933; Bahoewa Inilah
Asal-Oesoel: 1859; J. Kathirithamby-Wells: 1973; John Bastin: 1966; William
Marsden: 1965).
Sejauh yang diketahui,
penelitian mengenai sejarah migran orang Bugis di Bengkulu belum pernah
dilakukan oleh sejarawan baik di tingkat lokal maupun nasinal.
Dari Tanah Bugis Menuju Indrapura
Secara
historis awal migrasinya orang-orang Bugis ke Bengkulu berkaitan erat dengan
kebijakan “The Right Honourable English East India Company” (sebutan
untuk kompeni Inggris di wilayah India Timur) yang telah bercokol di Bengkulu
sejak akhir abad XVII, tepatnya pada tahun 1685 (P.Wink, 1924: 464).
Berdasarkan
sumber tradisional yang disebut “Maleisch-Handschrift (Babad
Melayu) yang berhasil dihimpun oleh Winter tahun 1874, diketahui sebagai
berikut:
In het door Boeginese
bewoonde gedeelte van Celebes, in het district Toeadjo, voerde de vorst van het
dorp Benteng oorlog met den vorst van Tasoeso eveneens in het district Toeadjo,
en hoezeer de strijd geruimen tij geduur had, kon hij Tasoero niet overwinnen.
Hij had een jongeren
broeder, Daing Maroepa, ook hoofd in het dorp, een stoutmoedig man. Deze stelde
voor, om Tasoero met een krijgsbende te overvallen en op dood en leven te
kampen; maar de vorst van Benteng wilde hiertoe zijn toestemming niet geven.
Daardoor gebelgd, verliet Daing Maroepa Benteng met zijn vrouw en gezin, en
stak in een vaartuig naar Java over, met het voornemen zich daar te vestigen.
Op zee veranderde bij van
voornemen en wendde den steven naar Benkoelen,. In de nabijheid van deze plaats
werd hij door een hevigen storm overvallen en naar Indrapoera
afgedreven…(Winter, 1874:116-117).
Berdasarkan
sumber di atas, dapat diketahui, bahwa di wilayah Sulawesi yang dihuni oleh
suku Bugis, di distrik Toeadjo (Wajo), terjadi peperangan antara penguasa desa
Benteng dengan raja Tasuro yang berlangsung lama. Oleh karena tak dapat
mengalahkan raja Tasuro, Daing Marupa, saudara muda penguasa desa Benteng yang
juga sebagai kepala desa yang terkenal pemberani itu, mengusulkan lagi dengan
pasukan tempur untuk menangkap raja Tasuro hidup atau mati. Usul Daing Marupa
ternyata tidak direspon oleh saudara tuanya. Karena kecewa, Daing Marupa
beserta isteri dan keluarganya meninggalkan desa Benteng, pergi berlayar ke
Jawa untuk menetap di sana. Di tengah laut, tujuannya berubah, dan mengarahkan
perhatiannya ke Bengkulu. Akan tetapi dilanda badai hebat hingga terdampar di
wilayah Indrapura.
Menurut
catatan Helfrich, Daing Marupa yang juga bernama Lampu Lana, dalam
pelayarannya, perahunya mengalami rusak berat. Bahkan pengikutnya banyak yang
tenggelam di tengah lautan, hingga perahunya kandas di wilayah Indrapura.
Akibatnya, perahu dan segala isinya dirampas. Daing Marupa dan manchappen (anak-buah)
nya ditangkap dan dibawa kepada Tuanku Sultan Indrapura.
Setelah
Daing Marupa menceritakan asal-usul dan kejadiannya, Tuanku Sultan Indrapura
kemudian kemudian mengembalikan barang-barangnya yang telah dirampas, dan
memberikan tempat perlindungan di istananya.
Kisah
petualangan Daing Marupa selanjutnya dicatat oleh Helfrich sebagai berikut:
Nadat Daing Maroepa reeds
geruimen tijd aan het hof van den Toewankoe van Indrapoera was verbonden, was
de Vorst zeer begaan met hem. Hij riep daarom al zijn mantries en verwanten
bijeen, won hun advies in omtrent zijn voornemen om Daing Maroepa als kind aan
hem met ‘s Vorsten zuster te doen huwen. De geheel vergadering juichte dit plan
toe en zoo geschiedde het. Uit dat huwelijk ontsproot nu, zooals reeds vermeld
is,. Soelthan Selan gelar Daing Mabela (Ibid.).
(Setelah Daing Marupa
tinggal cukup lama di istana, Tuanku Indrapura pun sangat simpati kepadanya.
Dalam sidang kerapatan para mantri dan pembesar kerajaan, telah diusulkan untuk
mengadopsi Daing Marupa sebagai anak raja, serta dikawinkan dengan adik
perempuan Sultan. Dari hasil perkawinan tersebut, lahirlah Sultan Selan yang
bergelar Daing Mabela.
Kisah
selanjutnya dicatat oleh Helfrich sebagai berikut:
, dat de waardigheid van
Toewankoe door beide zoude bekled worden. Het verhaa; wil nu, dat onder de
regeering van deze beide Vorst Indrapoera een ongekenden bloei genoot en dat
eerlijkheid en wijsheid alom ge[rezen werden (O.L. Helfrich, 1923:317).
( Tak lama kemudian,
Tuanku Indrapura yang sudah tua itupun meninggal dunia, dan anaknya laki-laki
tertualah yang harus menggantikannya. Akan tetapi karena dia tumbuh menjadi
besar bersama dengan daing Marupa, maka diputuskan, keduanyauntuk menduduki
jabatan sebagai Tuanku. Kerajaan Indrapura di bawah pemerintahan kedua raja
ini, telah berkembang pesat, kejujuran dan kebijaksanannya terpuji di
mana-mana).
Dari Indrapura Hingga Bengkulu
Menurut
laporan Sumatra Factory Record 2, 9 Jan 1688, pada awal tahun 1688, pemerintah
kompeni Inggris bermaksud mengundang Orumkey Lilla (Orangkaya Lela) dari
Indrapura, untuk membantu keamanan di wilayah Bengkulu. Akan tetapi
ternyata yang datang adalah Daing Marupa bersama-sama dengan para saudagar Bugis
dan pasukan Ambon (J. kathirithamby-Wells, 1973: 248). Besar kemungkinan, Orang
kaya Lela tidak bersedia datang ke Bengkulu karena pernah terlibat kasus hutang
dengan pihak kompeni Inggris tahun 1685. Berdasarkan isi surat dari pihak
pimpinan kompeni Inggris di bawah Benyamin Bloome pada bulan Januari 1686
kepada Karia Suttra Gistra (utusan Sultan Banten), disebutkan bahwa hutang
Orangkaya Lela tercatat sebesar 4.000 dollar (P. Wink, 1924:495).
Sejak
tahun 1686 itulah keluarga Bugis di bawah pimpinan Daeng Marupa mulai
berpengaruh di wilayah Bengkulu sebagai pasukan keamanan di bawah koordinasi
kompeni Inggris. Dua tahun kemudian (1688) anak keturunan Daeng Marupa, yaitu
Sutan Endey (saudara Daing Mabela) diangkat oleh pemerintah Inggris
sebagai Chief Captain (Kapten Kepala), yang tergabung dalam kesatuan khusus
Bugis (Bugis Corps). Korps militer Bugis ini diberi tugas secara khusus
untuk membantu meredam perang saudara di wilayah Anak Sungai (J.
Kathirithamby-Wells, 1973:248), yaitu wilayah Bengkulu paling Utara, antara
Manjuto dan Ketaun, yang terdiri atas Muko-Muko, Bantal, Seblat, dan Ketaun
(Rusli Amran, 1981:278).Sementara itu, Daing Marupa sendiri diberitakan telah
pulang ke tanah Bugis (O.L. Helfrich, 1923:317).
Dalam
perkembangan selanjutnya, diberitakan bahwa pada tahun 1695, hubungan antara
Sutan endey dengan pihak kompeni Inggris telah putus, gara-gara pihak
kompeni Inggris tidak bersedia menyertakan Sutan endey dalam hal monopoli
perdagangan merica di wilayah Bengkulu. Akibatnya, pihak kompeni Inggris
mencari penggantinya, yaitu Daeng Mabela. Sejak tahun itulah Daing Mabela
menduduki posisi strategis sebagai Kapten Kepala dalam korps militer Bugis (J.
Kathirithamby-Wells, 1973:249).
Mengenai
proses kedatangan Daeng Mabela ke Bengkulu, dilaporkan oleh O.L. Helfrich
sebagai berikut:
Omstreeks dien tijd of
iets daarvoor had de Engelsche Compagnie zich te Benkoelen gevestigd. Vele
binnenlandsche onlusten maakten het haar lastig om handel te drijven. De
bewoners van Benkoelen voerden strijd met Soengaj Itam, Soengaj Lemaw had last
van voortdurende invallen van redjangers, kort om de toestand was van dien
aard, dat men besloot de hulp in te roepen van een intelligent man, die de
partijen gemakkelijk zoude kunnen verzoenen. Het oog viel toen op Daing Mabela,
de mede-regeerder van Indrapoera. De grootwaardigheid-bekleeders, de brieven
van de Engelsche Compagnie lezende, stemden erin toe, dat Daing Mabela zich
naar Benkoelen begaf echter onder voorwaarde, dat hij spoedigst zon
terugkeeren. Zoo kwam dan Daing Mabela, vergezeld van vele hoeloebalangs en
mantris, te Benkoelen (O.L. helfrich, 1923:317-318).
Dari
isi petikan tersebut di atas, dapatlah dijelaskan, bahwa semenjak berdirinya
kompeni Inggris di Bengkulu, pemerintah Inggris mengalami kesulitan dalam
melakukan perdagangan, karena sering terjadi penyerbuan yang dilakukan oleh
penduduk Sungai Itam yang terdiri atas orang-orang Rejang terhadap penduduk
Sungai Lemau. Oleh karena situasi keamanan cukup rawan, maka pemerintah kompeni
Inggris memutuskan untuk meminta bantuan kepada Daeng Mabela yang saat itu
telah menjadi pemimpin pribumi di wilayah Indrapura. Atas kesepakatan para
pembesar kerajaan Indrapura, maka berangkatlah Daeng Mabela dengan disertai
para Hulubalang dan para Mantri menuju Bengkulu.
Perkembangan
selanjutnya, Daeng Mabela memperoleh posisi yang strategis di wilayah ibukota
Bengkulu, yaitu selain diangkat sebagai Kapten Bugis, juga diangkat
sebagai Hoofd van de Vreemdelingen (Kepala Orang Asing) non
Eropa. Daeng Mabela juga diminta untuk membawa orang-orang Bugis yang ada di
Sulawesi untuk direkrut menjadi serdadu Bugis memperkuat barisan keamanan di
bawah koordinasi pemerintah kompeni Inggris. Peristiwa migrasinya orang-orang
Bugis secara besar-besaran di bawah komando Daeng Mabela diperkirakan sejak
retaknya hubungan antara Sutan Endey dengan kompeni Inggris tahun 1695.
Sementara
itu, sumber naskah Melayu lokal Bengkulu yang berjudul Bahoewa Inilah Asal
Oesoel , pada patsal. 31, maupun dalam Tambo Bangkahoeloe, tidak saja
menceritakan tentang awal kedatangan orang Bugis (Daeng Mabela) ke Bengkulu,
tetapi juga menyinggung tentang jalinan kekerabatan dengan kepala pribumi
Sungai Lemau hingga memperoleh posisi yang strategis. Patsal yang ke 31 itu
tertulis sebagai berikut :
Koetika
zaman toeankoe Pangeran Mangkoe radja ialah datang satoe orang dari Indrapoera
gelarnja kata orang Indrapoera Soetan Balinam tetapi asal dahoeloe beliauw itoe
orang Boegis negri wadjok gelarnja tjara Boegis Daeng Mabela tinggal di
Bangkahoeloe beristri mengambil anak tjoetjoeng Datoe 4 di pasjar Bangkahoeloe
beranak laki-laki bergelar Daeng Makoeli. Daeng Makoeli kawin dengan anak
Pangeran Mangkoe Radja gelar datoe Njai, Kemoedian ialah Daeng Makoeli itoe
diangkat mendjadi Datoe dagang, maka dikoerniai oleh Pangeran pegangan Datoe
dagang itoe, dari tanah Merah pendakian dari pantai pasjar Bangkahoeloe laloe
dirawang belakang kampoeng Bangkahoeloe sampai dirawang Soeka Marindoe,
laloe belah selatan dari djambatan Niboeng, laloe dirawang Goentoeng sampai di
tanah Merah, maka Pangeran Mangkoe Radja menjoeroeh merambah dan membersihkan
segala hoetan hoetan lingkaran itoe, koetika itoelah mendjadi Padang semoeanja
bernamalah Tenga Padang (Pangeran Mohamad Sah, 1859:48-49; H. Delais dan J.
Hassan, 1930: 60-61).
Dari
isi petikan naskah Melayu tersebut di atas, dapatlah dijelaskan bahwa Daeng
Mabela datang ke Bengkulu pada zaman Pangeran Mangku Raja memegang kendali
pemerintahan pribumi di wilayah Sungai Lemau. Juga diketahui, bahwa nama lain
dari Daeng Mabela adalah Sultan Balinam, yang dalam catatan J.
Kathiritahmby-Wells disebut Sultan Selan.
Menurut
salah satu sumber, Daeng (Daing) adalah gelar untuk bangsawan menengah,
sedangkan Mabela bahasa Bugisnya berarti jauh (Shelly Errington,
dalam Lorraine Gesick, 1989: 108, 131). Besar kemungkinan nama gelar itu
sengaja dipakai karena Daeng Mabela memang menetap di tanah rantau. Daing
Mabela kemudian menikah dengan anak keturunan dari Datuk Empat Pasar
Bangkahulu, dan dari hasil perkawinannya, lahirlah seorang anak laki-laki yang
diberi nama Daeng Makulle (Daing Makoleh).
Selanjutnya
diceritakan, bahwa Daeng Makulle kawin dengan Datuk Nyai, anak Pangeran
Mangku Raja (kepala pribumi
Sungai Lemau). Tampaknya keluarga keturunan Bugis tidak saja berpengaruh
besar di wilayah kerajaan Indrapura, tetapi juga di Bengkulu. Terbukti, Daeng
Makulle, anak keturunan Daeng Mabela (cucu dari Daeng Marupa) tidak saja
berhasil menjalin hubungan kekerabatan dengan kepala pribumi Sungai Lemau,
tetapi juga memperoleh posisi strategis, yaitu mendapat jabatan sebagai Datuk
Dagang. Bahkan oleh Pangeran Mangku Raja, telah diberi sebidang tanah untuk
mendirikan perkampungan baru (kolonisasi) bagi keluarganya. Sebidang tanah yang
masih belukar itu kemudian dibuka, dan akhirnya menjadi sebuah kampung yang
diberi nama kampung Tengah Padang (sekarang menjadi Kelurahan Tengah
Padang, Kecamatan Teluk Segara, Kotamadia Bengkulu). Bila dicermati sesuai
dengan isi petikan tersebut di atas, maka diperkirakan, bahwa kampung Tengah
Padang itu semula wilayahnya paling tidak meliputi kelurahan Pintu Batu,
Kebun Ros, Bajak, Pasar Bengkulu, Sukamerindu, Pengantungan, Kebundahri, dan
kelurahan Tengah Padang itu sendiri.
Menurut
laporan Wells, setelah Daeng Makulle kawin dengan anak perempuan Pangeran
Sungai Lemau, Daeng Makulle diberi wilayah kekuasaan di Tapp Tuda, yaitu sebuah
wilayah yang terbentang dari Pasar Bengkulu hingga perbatasan utara
Sillebar. Untuk lebih jelasnya, berikut isi laporannya di bawah ini :
The
latter married a doughter of the Pangeran of Sungai Lemau who ceded to him
Tappa Tudda, the area stretching from Pasar Benkoelen to the northern
border of Silebar (Wells, 1977:99).
DAFTAR REFERENSI
Amran, Rusli. Sumatra
Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta. Sinar Harapan, 1981. Bahoewa Inilah Asal-oesoel.
Bataviaasch Genootschap,
ML, 143,Latijn-schrift, ML. 148, Arab Maleisch-schrift, gedat: 1859.
Delais H, J. Hassan
J. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum: Balai Pustaka, 1933.
Errington, Shelly. Tempat
Benda-Benda Pusaka di Luwu. dalam Lorraine Gesick, Pusat,
Simbol, dan Hirarki Kekuasaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989.
Helfrich, O.L. De
Adel van Benkoelen en Djambi (1892-1901). AB. Deel.XXII, Gemengd.
‘s-Gravenhage: Martinus-Nijhoff., 1923.
Kathirithamby-Wells. A
Survey of the Effects of British Influence on Indigenous Authority in Southwest
Sumatra (1685-1824). BKI, deel. 129. ‘s-Gravenhage:Martinus-Nijhoff,
1973.
The British West Sumatran
Presidency (1760-;85) Problems of Early Colonial Enterprise. Kuala
Lumpur: Universiti Malaya, 1977.
Wink, P. Eenige
Archiefstukken Betreffende de Vestiging van de Englesche Factoyij te Benkoelen
in 1685. Batavia-Den Haag: Albrecht & Co- Martinus-Nijhoff, 1924.
Winter. De
Familie Daing Mabella, Volgens een Maleisch-Handschrift. TNI, 3e
Jaargang, 2e deel. Te Zalt-Boome bij John Noman en Zoon, 1874.